R.M. Tirto Adhi Soerjo >> Inilah tokoh Minke dalam tetralogi Pram sekaligus Bapak Pers Nasional
Memperingati hari Pahlawan 10 November lalu, Presiden menganugerahkan 8 Pahlawan Nasional kepada 9 tokoh sejarah dari berbagai daerah. Salah satu gerakan perjuangan kemerdekaan adalah penerbitan koran pribumi di awal abad ke-20. R.M. Tirto Adhi Soerjo (TAS) diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena aktivitasnya sebagai pelopor pers nasional pribumi pertama di tahun 1907, di Bandung. Anugerah ini diusulkan oleh warga Jawa Barat.
Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875 – 1918)
R.M. Tirto Adhi Soerjo melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Soenda Berita, pers pertama yang terbit di Cianjur. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijaji, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
TAHUN 2006 Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PPKK) Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Lemlit Unpad) mempelajari tiga calon pahlawan nasional dari Jawa Barat yaitu R. Soepriadinata, R.M. Tirto Adhi Soerjo, dan K.H. Noer Ali.
“TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.” [Nina H. Lubis]
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto, .
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.
Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Kisah perjuangan TAS diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer (PAT) selepas keluarnya dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an. Ditulis dengan nama Minke dalam buku Tetralogi Buru, empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi PAT pun menulis kekagumannya atas TAS dalam buku Sang Pemula. Entah alasan pemerintah saat itu apa sehingga karya Tetralogi PAT dilarang terbit dan beredar. Sejak reformasi bergulir buku-buku PAT banyak dicetak ulang, bahkan hendak diangkat ke film layar lebar.
Karya PAT tentang Minke sebagai Tirto Adhi Surjo ini sudah banyak diterjemahkan di luar negeri, hingga 33 bahasa, diakui internasional di berbagai negara sebagai sebuah karya sejarah yang apik. Selain berlatar belakang sejarah yang tentunya lebih menarik sebagai referensi pelajaran sejarah di sekolah, PAT menggambarkan manusia Indonesia dengan keadaan feodal dan sistem kolonialnya. Tak hanya kronologi era Kebangkitan Nasional Indonesia dipaparkan lebih membumi dengan bahasa yang sederhana, PAT juga menggambarkan kisah cinta seorang manusia yang sederhana, tidak muluk-muluk, saat Minke bertemu dengan Annelies, sang Bunga Akhir Abad. Kabarnya Garin Nugroho akan menyutradai dan tokoh Annelies Melemma akan diperankan oleh Mariana Renata.
Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875 – 1918)
R.M. Tirto Adhi Soerjo melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Soenda Berita, pers pertama yang terbit di Cianjur. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijaji, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
TAHUN 2006 Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PPKK) Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Lemlit Unpad) mempelajari tiga calon pahlawan nasional dari Jawa Barat yaitu R. Soepriadinata, R.M. Tirto Adhi Soerjo, dan K.H. Noer Ali.
“TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.” [Nina H. Lubis]
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto, .
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.
Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Kisah perjuangan TAS diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer (PAT) selepas keluarnya dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an. Ditulis dengan nama Minke dalam buku Tetralogi Buru, empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi PAT pun menulis kekagumannya atas TAS dalam buku Sang Pemula. Entah alasan pemerintah saat itu apa sehingga karya Tetralogi PAT dilarang terbit dan beredar. Sejak reformasi bergulir buku-buku PAT banyak dicetak ulang, bahkan hendak diangkat ke film layar lebar.
Karya PAT tentang Minke sebagai Tirto Adhi Surjo ini sudah banyak diterjemahkan di luar negeri, hingga 33 bahasa, diakui internasional di berbagai negara sebagai sebuah karya sejarah yang apik. Selain berlatar belakang sejarah yang tentunya lebih menarik sebagai referensi pelajaran sejarah di sekolah, PAT menggambarkan manusia Indonesia dengan keadaan feodal dan sistem kolonialnya. Tak hanya kronologi era Kebangkitan Nasional Indonesia dipaparkan lebih membumi dengan bahasa yang sederhana, PAT juga menggambarkan kisah cinta seorang manusia yang sederhana, tidak muluk-muluk, saat Minke bertemu dengan Annelies, sang Bunga Akhir Abad. Kabarnya Garin Nugroho akan menyutradai dan tokoh Annelies Melemma akan diperankan oleh Mariana Renata.
“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
[Dialog di dalam buku Bumi Manusia]
asik
ReplyDeletesudah membaca tetralogi buru, sangat menunggu2 cerita ini di filmkan dengan bermutu, akan sangat bagus sekali...
ReplyDeleteDari novel inilah semestinya para pemimpin negeri banyak belajar, bagaimana grand design capitalism yg sudah dirancang-matang sejak dulu, menjadi akar segala masalah ekonomi dan sosial. Hidup tak lebih dari pemenuhan hawa nafsu keduniawian, segala media dan cara dibangkitkan : Industri, Teknologi, Medis, Perkebunan/Pertanian semua menjadi kehilangan arah kemanfaatannya yang dipertaruhkan demi "kemuliaan" bangsa barat.
ReplyDeleteTetralogi Buru mengajak Bangsa Indonesia untuk selalu menyadari ancaman ideologi capitalism yang menggerus ruh kebangsaan yang berorientasi kerakyatan.
Mas Admin,
ReplyDeleteMinta Ijin untuk publish tulisannya di FB.
Terima kasih.
Deanova Chandra,
deanovachandra@yahoo.com
buku kuartet buru ini harus dibaca seluruh anggota pemerintahan, dari buku inilah hati bisa tergugah untuk merenung arti dari perjuangan, dan betapa berpotensinya negara kita untuk jadi negara yang besar. sayangnya cara cara feudalisme dari zaman minke sampai sekarang masih tersisa dan berkuasa. Buku ini harus jadi evaluasi semua rakyat indonesia. untuk tidak pasif dan tidak tunduk kepada kecurangan yang ada pada kapitalisme. harus terus berkarya dan memiliki sense of justice yang tinggi.
ReplyDeleteartikel yang sangat lengkap dan menarik. Boleh saya jadikan sebagai bahan refrensi? Teriman Kasih
ReplyDeletemas izin share ke fb,buat edukasi..
ReplyDeleteRekonstruksi sejarah yang luar biasa, Baca Tetralogi 'Bumi Manusia' bikin gw kagum bgt sama Mbah Tirto Adhi Surjo tapi juga salut abis sama Mbah Pramoedia Ananta Toer
ReplyDeleteAdalah dosa besar jika Guru sejarah tidak membaca Tetralogi 'Bumi Manusia'
Ngak sopan kalo kita2 yang di bela mati2an sama Mbah Tirto Adhi Suryo ngak baca 'Tetralogi Bumi Manusia'
Kebodohan buat kita para pelajar tidak belajar dari kisahnya.....