PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 2)





Sang Pangeran Perkosa Adiknya
Malam merayap. Bulan tidak muncul. Kastil indah yang dikitari pepohonan lebat itu tampak kelam. Temboknya yang terbuat dari batu hitam, menambah kesuraman. Kastil itu bisa dikenali hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Serta lampu redup yang memenuhi sudut ruang.

Drussila tidur nyenyak di kamar. Sprei putih berlapis-lapis, serta bad cover dari bulu domba, menutup tubuh mulus gadis ini. Wajahnya tenang, mulutnya terlukis sesungging senyum. Ia sangat damai di alam mimpi. Dan itu, hanya saat tidurlah bisa dinikmati.

Secara phisik, gadis ini sangatlah bahagia dan sejahtera. Ia cucu raja, dan hidup serba berkecukupan. Tapi jaman berhala yang menaunginya, telah menempatkan gadis ini pada takdirnya. Ia harus menyaksikan berbagai kekejian, dan mengalami berbagai penderitaan.

Ia dipaksa harus mengalami itu. Ia harus melihat bagaimana ayah dan ibunya dibunuh secara keji. Ia harus menyaksikan kekejaman bertahun-tahun di istana yang membuat hatinya goyah. Serta, dalam usia yang relatif muda itu, saban hari ia dijejali pemandangan erotis di lingkungan istana. Pesta seks saban pekan.

Kedamaian tidur Drussila itu amat kontras dengan kondisi Caligula. Laki-laki itu belum beranjak tidur. Ia hilir mudik mengelilingi ruang. Sesekali melongok kegelapan malam, dan kali yang lain menarik nafas panjang. Padahal biasanya, ia sudah mendengkur. Membaringkan tubuh di dekat adiknya, dan melepas kepenatan siang yang terasa begitu panjang.

Laki-laki ini memang sedang digelayuti keresahan. Peristiwa siang tadi belum bisa hilang dari ingatannya. Bukan kesadaran sebagai kakak yang membuatnya resah, tetapi keindahan tubuh dan romantisme Sang Adik yang telah menjadikan hatinya terus gundah.
Ia jadi kagok untuk berbaring di sisi Drussila. Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk tidur bersama adiknya. Sebab ia ragu. Mampukah tidak melakukan rangsangan pada gadis itu seperti malam-malam yang lalu. Sisi lain, kalau itu dilakukan, jangan-jangan sang adik yang juga orang paling disayang, serta teman bermain satu-satunya itu bakal marah. Dan itu artinya, ia akan kehilangan segalanya. Perang bathin itulah yang membuat Caligula resah dan tak bisa mengatupkan mata.
Malam terus merangkak. Di luar kastil, suara burung mulai bersahutan. Dingin menempel di jendela, dan terus merayap memenuhi ruang dalam puri tua ini. Caligula berdiri di balkon dekat peraduan Drussila. Kehangatan mulai menyusup di hati laki-laki ini.
Ia pandangi wajah ayu adiknya. Ia berulang-ulang menarik nafas panjang. Dan makin dipandang, yang muncul bukan wajah Drussila, tapi justru senyum Ennia, Sophia, Yulia, dan para wanita yang selama ini memberinya kenikmatan di ranjang. Jantung Caligula berdegup kencang. Nafasnya memburu, dan otaknya berpikir keras. Adakah ia mampu melawan nafsu itu?

Mata Caligula merah saga. Ia naik ke peraduan. Selimut tebal yang membungkus tubuh Drussila diseretnya pelan-pelan. Kini gadis itu hanya berpenutup kain tipis warna hijau muda yang dibentuk semacam baju tidur. Ia telentang tenang. Tertidur nyenyak di tengah lapisan kain.

Tubuh mulusnya terpampang nyata. Nafas Caligula terengah-engah. Tubuhnya gemetaran menahan nafsu. Tapi untuk melangkah lebih jauh, ia harus sabar dan hati-hati.
Laki-laki ini mulai membaringkan diri disamping Drussila. Tangannya merambat. Tali kain tipis yang mengikat tubuh Drussila dengan busana tidurnya diurai. Dengan sangat hati-hati tali itu dilepas. Dan dengan hati-hati pula, saat kain tipis pembungkus tubuh indah gadis ini sudah terlepas, disingkapnya. Kini tubuh mulus gadis itu tak berpenutup. Drussila menampilkan pemandangan yang menakjubkan. Panorama itu yang membuat birahi Caligula kian mengencang.

Ia memulai aksinya membangkitkan gairah Sang Adik. Ia merapatkan tubuhnya. Ia merangkul adiknya. Saat Sang Adik tidak bereaksi. Ia pilin, pijit, dan tarik-tarik bagian sensitifnya. Memang, reaksi phisik gadis ini belum kelihatan. Namun siku Caligula merasakan, degup jantung gadis ini mulai mengencang.

Caligula terus merayap. Ia mengangkat separuh tubuhnya, dan merangkul ketat tubuh bugil Drussila. Saat itulah Drussila melenguh. Tubuhnya bergerak-gerak. Dalam bawah sadarnya timbul rangsangan. Ia belum tersadar. Ia masih dibuai dalam alam impian. Namun impian yang distimulasi oleh gerakan luar yang terbias ke alam maya.
Reaksi erotis Drussila itu kian menyulut birahi Pangeran ini. Ia tambah bernafsu. Tubuhnya melorot ke bawah. Ia mendaratkan mulutnya di pusar Drussila.
Gadis ini mulai merintih. Ia mulai menggerakkan pinggulnya. Kakinya tambah terbuka.

Dan ruang yang tersembunyi itu kini memberi peluang untuk semakin dirangsang.
Caligula memindahkan posisi. Ia menempatkan badannya di antara dua paha Drussila. Ia mulai menggunakan mulut dan lidahnya untuk membangkitkan gairah. Dan gadis ini terus merintih.

Kini wilayah sensitif gadis itu mulai dibanjiri cairan. Caligula paham tanda itu. Terus dan terus. Sesekali mengelus, kali lain memutar. Ketika dirasa tepat untuk beraksi, Caligula pun menindih Drussila. Ia memasukkan lingganya ke yoni gadis ini. Pelan dan pelan hingga tubuh Drussila bergetar.

Hubungan Seks Sedarah
Drussila mengerang. Ia di ambang sadar. Ada rasa nyeri di selangkangannya. Ada beban berat di atas tubuhnya. Tapi di balik itu, tak bisa dipungkiri, juga ada rasa nikmat yang merambati seluruh tubuh gadis ini. Itu yang membuat Drussila merintih dan mengaduh.

Saat matanya terbuka dan kesadarannya mulai pulih, ia pun menyaksikan tubuh Caligula menindihnya. Ia tak sekadar menindih, tapi sedang berlayar menuju puncak kenikmatan. Nampaknya laki-laki itu belum orgasme. Ia masih dalam tahap menuju ke sana.
Drussila mengumpat. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya, agar Sang Kakak menyudahi memperkosanya. Tapi karena pinggulnya dicengkeram tangan dan ditindih di atasnya, maka dua tubuh itu seperti lengket. Pukulan gadis itu tak membuat Caligula undur. Ia sudah setengah perjalanan menuju nirwana. Ia harus meneruskan langkah, mendaki puncak nikmat. Menyetubuhi adiknya.

Saat itulah tangan Caligula yang mencengkeram gadis ini kian mengencang. Tubuhnya mengejang. Dengus nafasnya memburu. Tapi adakah gerakan itu tak menggugah birahi Drussila? Adakah gadis ini tetap marah-marah dan memukul-mukul tubuh Caligula? Ternyata, ketika Caligula meneruskan memainkan irama romantis itu, Drussila juga terpesona. Pukulan tangannya melemah, dan mulutnya menganga.

Dari mulut itu keluar erangan. Bathinnya seperti diaduk-aduk. Ia diamuk badai nafsu. Tangannya lemah terkulai, dan mulutnya mendesis-desis. Malah, tangan yang tadinya memukuli punggung Caligula itu berubah drastis. Tangan itu kini merangkul ketat tubuh kakaknya.

Dengus Caligula meninggi. Ia seperti sedang berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan berat. Setelah itu lama berlangsung, dengan pekikan panjang, laki-laki ini tubuhnya mulai mengejang. Kaku, sebelum akhirnya melemah.

Caligula lunglai, diiringi Drussila. Dengan mesra Caligula menciumi pipi dan leher Drussila. Ia berusaha bersikap biasa-biasa saja. Gadis ini dihadapkan pada perasaan yang rumit. Ia merasa, apa yang barusan dilakukan adalah salah. Tapi tak bisa dipungkiri, ia pun sangat menikmati hubungan yang salah itu. Ia telah melakukan
hubungan seks sedarah (incest).

Melihat Caligula biasa-biasa saja, Drussila pun berusaha untuk bersikap sama. Ia mulai bisa mengendalikan perasaan bersalahnya. Tangannya mengusap lembut rambut Sang Kakak, dan menciumi dengan mesra wajah Caligula.

Gadis ini usianya memang masih muda. Tapi secara psikologis ia lebih dewasa dibanding Sang Kakak. Untuk itu ia lebih tegar dalam menjalani hidup. Dan ia lebih dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang melanda keluarganya.

Mengingat itu Drussila menangis dalam hati. Ia merasa sangat bersalah. Persetubuhan itu sulit untuk diterima. Tetapi di balik itu ia sangat kasihan melihat sikap Sang Kakak. Laki-laki itu amat goyah. Ia bak itik kehilangan induk. Ia amat kehilangan kasih sayang, setelah ayah dan ibunya tiada. Membayangkan itu, tak terasa, sambil mengelus rambut Caligula, ada butiran-butiran halus mengalir dari mata gadis ini. Drussila menangis. Tangis yang amat dalam untuk direnungkan.

Kini ia bimbing tubuh kakaknya yang masih tergolek di atas tubuhnya. Ia baringkan tubuh itu disampingnya. Disapunya sisa-sisa keringat yang masih tersisa di leher laki-laki ini. Dan ia cium keningnya.

Diperlakukan begitu, Caligula bergelenjot mesra. Ia rangkul adiknya. Tak lama kemudian, laki-laki ini tertidur. Ia merasa mendapat kenyamanan. Ia merasakan kedamaian. Ada yang memberinya perlindungan.

Drussila memang harus menjadi segalanya. Ia harus jadi teman bermain, ibu yang menyayangi, dan kekasih yang memberinya kepuasan seks dan membangun romantisme. Sebagai gadis yang belum makan asam garam kehidupan seks, sebenarnya ia belum siap bagian sensitifnya dijadikan mainan. Secara moral hatinya menolak perlakuan itu, karena yang melakukan adalah kakak kandungnya sendiri. Sedang dari hati kecilnya, sebagai gadis normal, ia juga tak bisa memungkiri, ulah kakaknya itu membangkitkan naluriahnya sebagai gadis remaja. Ia terangsang. Nafsu birahinya memuncak.
Saat Sang Kakak tidur lelap, gadis ini berpikir jauh. Ia harus merenung, dan memilih di antara pilihan-pilihan yang sebenarnya tak layak untuk dipilih.

Tapi pagi itu ia telah memantapkan hati. Rasa sayang dan kasihan terhadap nasib kakaknya telah mengalahkan segalanya. Ia bertekad untuk memberikan segala yang diminta Sang Kakak. Tak perduli itu sangat bertentangan dengan berbagai doktrin kebaikan yang ada

Di Kutp Dari kiftiya.blogspot.com

No comments for "PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 2)"

loading...